[8th] DESIRABLE

DESIRABLE

Author: Ifaloyshee | Characters: Kim Jongin, Jo Sebyul (OC) | Genre: Angst, dark, Marriage life | DISC: The idea is mine, included the plot and a whole of this story. The Characters are belong to their parents. Don’t reblog or copy without my permission! |Rating: Mature

8^th Story

 

 new cast

Mizuhara Kiko as Miraki Kim

 

 

 

 

 

Kim Jongin’s POV

 

Aku tak menyangka ketika si kecil Lauren merengek minta pergi ke taman dan aku yang harus menemaninya akan berakhir pada pertemuan tidak sengajaku dengan Sebyul. Secara tumben dia mengenakan floral dress dan sepatu flat yang menggantikan kaus hitam-putih-abu abu nya plus sneakers. Tapi dia tetap saja cantik… shit, dia memang tipeku. Aku rasa semesta mengerti kenapa aku betah dekat-dekat dengannya.

Dia tersenyum dibalik meja yang penuh dengan buku dongeng dan komik itu, ekspresinya sedikit terkejut ketika melihatku.

“Jongin?”

Aku baru sadar ternyata di taman kota sedang ada event penjualan buku hasil cuci gudang sebuah perpustakaan. Dan aku rasa ini perpustakaan tempat Sebyul pernah bekerja sewaktu itu.

“Paman Jo…” si kecil Lauren menarik – narik ujung kemejaku dengan jari – jari mungilnya, aku menunduk untuk mengikuti arah jarinya yang kini menunjuk pada setumpuk buku dongeng yang dikemas dengan pita dan ornament membentuk sebuah paket. “Kau mau itu?”

Lauren mengangguk. “Disney Princess. Lauren ingin beli itu!”

“Ya…Ya.. Paman akan membelikan itu untukmu.”

Ketika aku mendongak, sebyul sudah menjulurkan tangannya dengan paket buku dongeng Disney Princess. “Semuanya seratus lima puluh won.” Dia menatapku jenaka seolah kami benar – benar seorang penjual dan pembeli. “Apakah kau berpakaian begini hanya ketika pameran buku saja?” tanyaku, Sebyul menggeleng. “Tidak juga. Aku memakainya ketika datang ke pesta.”

“Aku akan pastikan menjadi seseorang yang akan mengantarmu ke pesta kalau begitu.”

Dia menertawakan godaanku padanya kemudian mencibir. “Cepat ambil! Semuanya 12.000 won. Dasar genit.” Ia menggoyangkan paket buku itu supaya aku cepat mengambilnya.

Aku mengambil paket buku tersebut lalu memberikan beberapa lembar won ke tangan sebyul.

“Terimakasih.” Sebyul menepuk kepala Lauren pelan, “Aigoo! Kenapa kau cantik sekali,”

Aku menyeringai. Tentu saja Lauren cantik karena aku pamannya—jika aku mengatakan hal ini pasti Sebyul akan mengejekku habis – habisan. Ngomong – ngomong melihat buku – buku diatas meja tinggal beberapa biji saja aku rasa sebyul sebentar lagi selesai dengan pekerjaannya. Kebetulan diseberang taman ada kafe es krim, bagaimana kalau mengajaknya?

“Apakah pekerjaanmu sudah selesai?”

Sebyul mengecek buku – buku dihadapannya, “Hampir. Aku hanya jaga di stand buku anak kecil saja jadi kurasa sudah hampir selesai, kenapa?”

“Mau makan es krim di café seberang?”

“eummm…. sebentar.”

Dia memanggil teman wanitanya yang bernama Eunji untuk mendekat. Aku tidak tau siapa wanita bernama Eunji ini, dia cukup cantik.. aku suka senyum lebar nya dan poni nya yang menggembung. Dan ketika Eunji mendekat ke Sebyul, dia mencuri beberapa pandangan terhadapku dengan tatapan bertanya. “Ya! Kenapa memanggilku?”

“Aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Uang hasil penjualan sudah aku tata rapi didalam laci meja. Boleh aku pergi sekarang?”

Eunji mengangguk, “Tentu saja! Lagipula sebentar lagi pameran akan tutup.. kami tidak lama – lama disini, Sebyul-ya.”

“Baiklah, dan—“

“HEI! Kau tidak pernah memberitahuku tentang suamimu!” aku tidak yakin dengan yang satu ini tetapi.. apakah Eunji sedang mengarahkan tatapannya padaku? Dan secara tiba – tiba dia menunduk, “Annyeonghaseyo! Aku Jung Eunji, teman dekat Sebyul. Kami berkenalan ketika bekerja sama – sama di Lire et a vivre. Sudah berapa lama kalian menikah?”

Terdapat hening panjang antara aku, Sebyul dan Eunji—wanita ini tidak menyadari keheningan kami, dia masih tersenyum lebar padaku mengira aku suami Sebyul. Dan aku menengok kearah Sebyul. Sial! Sebyul membuatku ingin tertawa dengan ekspresi bingungnya yang menggemaskan. Dia ingin mengucapkan sesuatu namun tergagap lalu ia mendelik padaku.

“Kamsahamnida.” Aku balas membungkuk. Aku melirik kearah Sebyul lagi, dan wanita itu masih kelabakan. Sepertinya menyenangkan kalau mengerjainya sebentar, “Aku Kim Jongin. Kami sudah menikah tiga tahun yang lalu. Istriku tidak memberitahumu?”

Sebyul menoleh kearahku dengan tatapan syok nya.

Aku berusaha mengulum tawaku dengan berdeham sesaat lalu tersenyum pada Eunji yang percaya saja pada kata – kataku. “Ah betapa menyebalkan! Ya! Sebyul-ya kenapa kau menyembunyikan pernikahanmu! Kau mengatakan padaku belum pernah berkencan sama sekali,” dengan tanpa pikir panjang Eunji memukul lengan Sebyul.

“AW! Siapa juga yang menikah?! Jangan dengarkan dia. Dia orang gila.”

“Omo! Omo! Bagaimana bisa kau mengatai suamimu yang tampan ini orang gila. Aaah, jinjja Sebyul-ya.”

“tidak apa – apa, Eunji.” Aku mencondongkan tubuhku kemudian berbisik. “Dia sedang marah padaku maka tingkahnya menjadi seperti itu. Kau tau, kalau seorang istri marah dia bia mengatai suami nya dengan kejam. Ini hanya masalah sepele keluarga.”

Eunji mengangguk polos.

“YA! Apa yang kau katakan pada Eunji?!”

Aku hanya mengedikkan bahu.

“Sebyul-ya…” Eunji tiba – tiba menepuk pundak Sebyul, lalu menghela nafas. “Kau boleh marah pada suamimu. Kadang – kadang pria memang menyebalkan.. ya..ya.. aku tau bagaimana rasanya. Tapi bukankah tidak baik bertengkar lama – lama sementara anakmu masih kecil?”

“anak?” ucapku dan Sebyul berbarengan, kemudian kami berdua saling bertatapan.

“Kenapa kaget begitu? Lihat, dia sampai mendongak karna terkejut. Aish, kalian ini menikah terlalu muda jadi belum bisa memberikan contoh yang baik bagi anak kalian.” Aku mengikuti arah pandang Eunji dan.. Oh sial, dia mengira Lauren anakku dan Sebyul. Sekarang aku tidak heran kenapa Eunji mengiraku sebagai suami Sebyul.

Terdengar helaan nafas Sebyul, dia pasti frustasi sekali sekarang. Sumpah aku ingin menertawakannya.

***

 

“Dasar brengsek.”
Sebyul mencondongkan tubuhnya padaku lalu berbisik agar Lauren tidak mendengar. Lauren sibuk bermain dengan game portabelnya dengan es krim vanilla dihadapannya. Dan sejak percakapan dengan Eunji berakhir lima belas menit yang lalu, Sebyul memberiku perlakuan diam sepanjang perjalanan. Barulah ketika kami sampai di café, kata pertama yang Sebyul ucapkan begitu sopan sampai membuatku ingin menangis bahagia.

Gadis ini memasang tampang sebal, menopang wajahnya dengan kedua tangannya. Dan aku baru sadar kalau Sebyul memakai kuteks berwarna putih tulang. Aku tidak tau apakah satu – satunya yang menyadari hal ini hanyalah aku..? warna kuteks Sebyul, tanda lahir di bahu Sebyul—kau tidak akan melihatnya kecuali kau benar- benar memperhatikannya, dan parfum aroma strawberry.

“apa isi otakmu Kim Jongin sampai kau berpikiran untuk mengatakan bahwa kita menikah? Bodoh. Eunji itu teman dekatku, bagaimana kalau setelah ini dia menanyaiku macam – macam soal kita? dan apa yang dia pikirkan ketika mengetahui aku sudah memiliki anak yang cukup besar diusiaku yang masih dua puluh dua?”

Aku hanya menyeringai sambil memperhatikannya yang terus mengomel. Kalau aku menanggapi pasti perdebatan argument kami tidak akan ada habisnya.

Lagipula Sebyul seksi kalau sedang marah. Aku tidak menyaksikan ini sering – sering jadi,

Aku hanya mengangguk – angguk saja.

“…Dasar pria tak punya otak.” Aku mendorong gelas orange juice kehadapan Sebyul. “Minum dulu. Kau kehilangan banyak nafas ketika berbicara.”

Jo Sebyul cukup kejam kalau berbicara, mungkin jika bukan aku lawan bicaranya pasti gadis ini sudah dimarah – marahi habis – habisan untuk kemampuannya memilih kata yang buruk. Dia baik sekali, tapi sekali dia marah.. itu adalah ide yang buruk. Sungguh buruk untuk membuatnya marah – marah. Kalau saja dia tidak seseksi ini ketika marah – marah pasti aku sudah menyesal membuat kebohongan di taman tadi.

Sebyul hanya melirik kearah gelas lalu kembali melirikku.

“Jadi siapa Eunji itu? Temanmu?”

Aku belajar self-control sejak remaja sebelum aku masuk sekolah menengah, dulu aku tidak mengerti kenapa aku harus mempelajari semua hal itu—yang berbau tentang bagaimana mengontrol wajah dan ucapan terhadap orang—dan setelah beberapa tahun berlalu, aku tau apa esensinya. Dan untuk menghadapi wanita yang sedang marah, aku tidak boleh memarahinya balik. Aku harus diam dan mendengarkan… kemudian setelah sang wanita selesai, aku mengalihkan topic pembicaraan. Mungkin aku harus menulis buku berjudul ‘bagaimana cara memikat hati wanita’ versi Kim Jongin.

“Dia rekan kerjaku selama di perpustakaan. Gadis yang ramah dan ceria, dia memiliki sebuah toko roti tak jauh dari sini. kenapa? Mau mengencaninya? Awas saja! Dia punya kekasih. Tidak usah mengganggu hidup orang.”

Sepertinya teori tentang self-control tidak berlaku lagi jika aku berhadapan dengan wanita ini. Kenapa dia suka sekali marah – marah padaku?!

“Kau senang mengambil kesimpulan sendiri ya? Manis sekali, Jo sebyul, menuduhku ingin mengencani sahabatmu.” Aku terkekeh, “Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu pada suamimu sendiri?”

Sebyul menggebrak meja. “KIM JONGIN!”

Aku tertawa terbahak – bahak sampai perutku sakit. Sebyul sukses membuat hariku yang membosankan setelah meeting panjang di pagi hari tadi, kini ia menghilangkan semua kebosananku disiang hari didalam sebuah café sederhana diseberang taman.

“Sungguh.. kau harus menghentikan lelucon tentang ‘pernikahan’. Hal itu sesuatu yang sacral, dan aku takut ada malaikat yang mendengar ucapanmu lalu mengabulkannya.”

“memang kau tidak mau menikah denganku?”

Sebyul terkejut dengan pertanyaanku, lalu dia tertawa remeh. “Memang kau mau menikahiku?”

Sial. Wanita ini benar – benar.

“paman Jo dan unnie akan menikah?” aku dan Sebyul menoleh berbarengan. Lauren dengan polosnya menanyakan hal itu dengan es krim yang belepotan di sekitar mulutnya. Ia mengerjapkan mata mengantisipasi jawaban dari kami berdua, “Apakah kalian akan menikah?” tanyanya lagi.

“Tidak, Lauren sayang. Tidak.” Sebyul mengibaskan tangannya di udara.

“Jongin, dengar, kau harus menghentikan leluconmu.” Sebyul berbisik lagi padaku. Aku mengedipkan satu mataku sebelum Sebyul melayangkan tangannya untuk memukul kepalaku pelan.

“tapi ada yang membuatku penasaran Sebyul. Eunji mengatakan kalau kau tidak pernah berkencan?”

“Siapa yang tidak pernah berkencan?”

Tiba – tiba saja seseorang muncul dari balik punggungku, wanita berambut pendek dengan perawakan tinggi mengenakan blus dan rok pendek, tas Givenchy, pakaian Prada dan sepatu heels keluaran Alexander McQueen terbaru. Tentu saja hanya keluarga Kim yang mampu membeli semua itu. Wanita yang baru saja hadir, Miraki Kim. Kakak perempuanku. Keturunan pertama keluarga Kim.

Dia melirik kearahku dengan malas lalu mengalihkan pandangannya pada Sebyul. “girl. Sayang sekali kau harus mengalami kencan pertamamu dengan pria seperti Jongin.” Ucapnya kurang ajar. Sebyul sibuk terpana pada Miraki. Orang – orang mengatakan kalau kakakku cantik—ya dia memang seorang model—tetapi aku tidak sependapat. Mungkin karena aku sudah melihat wanita ini luar dalam, baik buruknya—dan aku rasa ia lebih banyak memiliki sisi buruk.

Dan aku sengaja memanggilnya kesini untuk menjemput Lauren. Agaknya tidak sehat mengajak Lauren pergi bersamaan dengan Sebyul karena percakapanku dengan Sebyul terkadang kelewat batas. Dan kami bisa menyemportkan kata – kata kasar kapan saja.

“Ayo, lauren.”

“mum!” Lauren melompat kepelukan Miraki dengan wajah malas Miraki pada anak satu – satunya. Dia pasti sebal karena waktu senggang nya dengan teman – temannya terganggu oleh Lauren. “Bisa kau jalan sendiri? Aku lelah menggendongmu terus – terusan.”

“Wow kau pasti lelah sekali. Seharian ini kau tidur, bangun untuk pergi dengan teman – temanmu, dan aku yang mengurusi Lauren setelah meeting pagi tadi. Kenapa kau tidak pergi spa untuk menghilangkan rasa lelahmu?”

Miraki memutar bola matanya. “stop your sarcasm comments, cant you? Dasar anak emas. Ibu mencarimu. Mungkin dia takut bekal makan siangmu ketinggalan.”

Miraki tidak pernah menyukaiku dengan alasan bahwa aku anak lelaki dan berhak memegang perusahaan sementara dia tak berada di hirarki yang sama denganku. Bahkan Ibu tak mempertimbangkan dia sama sekali.

Itu bukan salahku, salahkan ibu.

“Sebaiknya kau bawa Lauren ke restoran terdekat. Dia belum makan siang.”

“Aku sudah makan es klim!” lauren berseru senang.

“dia sudah makan es krim.” Ulang Miraki, namun aku menggeleng. “tanyakan pada anakmu apakah es krim membuatnya kenyang? Jangan seperti orang miskin sampai membuat Lauren kelaparan.”

“Ck. Dasar tukang atur.” Miraki berpaling, “ah, kapan Clara kembali ke Amerika?”

“Sore ini.”

“Katakan padanya untuk berhenti menghubungiku hanya karena ingin restu untuk pernikahan kalian berdua. I don’t give a fuck. Kalau perlu, katakan padanya kalau aku akan sangat merindukannya selama dia berada di Amerika…kalau hal itu bisa membuatnya diam dan berhenti menggangguku.”

“Ya.”

“sampai jumpa, Jongin.” Kemudian dia berlalu pergi dengan Lauren yang menoleh kebelakang untuk melambaikan tangannya kearahku sampai mereka menghilang dibalik pintu.

Aku kembali menoleh pada Sebyul yang terdiam dikursinya. Sedari tadi dia tidak mengucapkan apapun, tidak juga menyapa Miraki padahal Sebyul biasanya ramah terhadap teman – temanku. Dia hanya menatapku lalu menghela nafas, “Jongin, apakah kau anak pungut?”

Brengsek. Apa maksudnya. “Ya! Kenapa kau berkata begitu Jo Sebyul?!”

Sebyul tertawa. “Hahahaahaha aku hanya tidak percaya bahwa kakak perempuanmu secantik itu. Benar – benar c a n t i k. dan aku membandingkan dia denganmu. Kenapa rupamu tidak sebagus dia?”

“Jadi itu mengapa kau mengataiku anak pungut? Kau tidak percaya aku adik kandung Miraki?”

“Sebentar… siapa namanya? Miraki?”

“Miraki Kim.”

“Whoa.” Sebyul terheran – heran. “Sejak kapan kau memiliki darah jepang?”

“Ayahku orang Jepang.”

“O-oh. Lalu kau bisa bahasa Jepang?”

“Ya. Aku menguasai empat bahasa dengan lancar. Korea, Inggris, Jepang dan Prancis. Aku sedang mempelajari mandarin juga.”

“Dasar sombong.”

“Ya, kau bertanya padaku! Aku tidak menyombongkan diri, sial kau.”

Dan kemudian Sebyul hilang lagi dalam pemikirannya—dia sering seperti ini. Seolah aku sedang tidak duduk dihadapannya dan berbicara padanya. Sebyul menatapku, namun tidak benar – benar menatapku. Tatapannya kosong seolah menerawang.

“Apakah kau akan menikah dengan Clara?”

Kata – kata itu keluar dari mulutnya dan kini ia menatapku lagi, kali ini akal sehatnya sudah kembali. Dia benar – benar wanita yang tak bisa ditebak air wajahnya. Terkadang senang dan sedih menyatu begitu saja.. tanpa aku mana yang lebih dominan. Dan menyisakan ekspresi tak terbaca. Satu – satunya ekspresi yang jelas adalah ketika dia marah.

“Dua tahun lagi.”

Bola matanya bergerak menatapku ingin tahu, kemudian ia memiringkan wajahnya lalu tersenyum. Namun senyumnya tak sampai matanya. Dia tersenyum tak beralasan. “kenapa lama sekali.. wanita secantik dia, kau tidak takut seseorang lain akan merebutnya jika kau tidak cepat – cepat?”

“Kalaupun ada yang berniat merebutnya, Clara akan dengan senang hati memilihku. Dia harus menyelesaikan kuliahnya selama dua tahun untuk mendapatkan gelar. Lagipula aku tidak benar – benar mencintainya.”

“apakah kau tidak pernah.. benar – benar mencintai seseorang, Kim Jongin?”

Aku terdiam atas pertanyaannya. Tentu saja aku pernah. Rasanya juga belum mati sampai sekarang. Namun aku akan menjaganya untukku saja. Dan cerita itu terlalu tragis untuk diceritakan, di dalam hidupku yang sudah tragis.

“Bagaimana denganmu sendiri, Sebyul?”

Sebyul terdiam beberapa detik atas pertanyaanku.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku.” Jawab sebyul.

“Tidak juga denganmu.”

Lalu kami berdua membiarkan pertanyaan itu menggantung diudara.

Sebyul menatapku intens tak peduli bahwa aku bisa saja mrisih dengan tatapannya—walaupun kenyataannya tidak—kemudian tertawa remeh. Aku bertanya – Tanya apa yang sedang ia pikirkan saat ini. “Ada sesuatu yang terjadi padamu.” Ia berucap ditengah suapan es krimnya.

“apa yang kau maksud dengan ada-sesuatu-yang-terjadi-padaku? Semua orang memiliki sesuatu yang terjadi pada diri mereka.”

Sebyul menghela nafas, lalu menggigit bibir bawahnya. “Sesuatu dimasa lalu yang membuatmu mengalihkan topic yang tidak mau kau bicarakan. There is something in your eyes, Kim Jongin. The sparks, the dominance of yours, and… your weak point.”

“Siapa kau berani sok tau? Detektif conan?”

Aku mempertanyakan pada semesta dengan tujuan apa aku dipertemukan dengan Sebyul. Dengan wanita yang bisa menelanjangi aku secara mental seperti saat ini dan melakukan sesuatu yang membuatku terkesima tanpa kesengajaan. Disini, aku yang ingin membuatnya terkesima. Aku yang ingin membuat Sebyul jatuh terduduk diatas lututnya untuk aku, seperti semua wanita yang pernah dekat denganku. Tapi dia pemberontak, pelawan. Dia tak punya materi apa – apa, tapi dia berani melawan.

“Siapa aku? Seorang barista dengan gaji rata – rata yang sedang makan es krim dengan salah satu chaebol terkaya di Korea selatan.”

“Sebyul.”

“Ya?”

“Menurutmu kenapa aku harus menikahi Clara?”

“karena jongin menyukai wanita cantik. Bukankah Luhan pernah mengatakan itu?”

“Dan jika kau ada diposisi Clara, akankah kau sakit hati?”

Sebyul tampak berpikir sesaat, lalu ia menggeleng.

“Selama tidak jatuh cinta satu sama lain. kenapa harus sakit hati?”

Dan kami mengakhiri percakapan siang ini dengan pernyataan tersirat bahwa.. kami tidak jatuh cinta satu sama lain.

 

***

 

Sebyul menutup pintu dibelakangnya kemudian cepat – cepat menyandar entah pintu dengan maksud apa. Satu tangannya masih memegang gagang pintu dan tangannya yang lain mengepal. Ada segumpal perasaan yang mengganjal di ulu hatinya namun Sebyul terlau naïf untuk mengetahui itu apa.

Dia menyelesaikan makan siang—tidak bisa disebut makan siang juga karena mereka hanya menyantap es krim—bersama Jongin sekitar pukul dua dan setengah jam setelahnya, Josey menghubunginya karena ada shift kosong di café. Pukul lima sore dia pulang dan akan berangkat lagi pukul delapan malam. Sebyul sempat khawatir apakah Junhong sudah makan siang tetapi Junhong mengiriminya pesan bahwa dia baru saja makan siang dengan salah satu teman di sekolah.

Pukul lima sore lewat tiga puluh menit.

Kim jongin akan menikah.

Kata – kata itu berputar diotaknya seperti rangkaian menu yang harus ia hafal di café.

Sebyul membenturkan pelan kepalanya pada pintu… Lalu kenapa kalau Jongin menikah? Apa urusannya denganku? Bagaimana bisa seekor itik kotor mengkhawatirkan pernikahan serigala puncak gunung?

Oh, tapi ini Clara Lee. Seseorang yang tanpa ampun menamparnya didepan apartemen sampai pingsan dan berdarah. Wanita yang tidak pantas jongin cintai dan secara fakta, tidak juga dicintai oleh Jongin—begitulah yang Jongin katakan, tapi apakah Jongin benar – benar tidak mencintainya—dan bagaimana bisa keduanya mau menikah?

Selamat datang di dunia realita.

Tapi apakah jika Jongin menikah, Sebyul masih bisa mengobrol panjang tentang hidup sambil menyesap kopi dan sepiring donat? Apakah Jongin masih mau berkunjung kerumahnya untuk menceritakan kartun favoritnya sambil meminum cokelat panas buatan sebyul dan mengatakan ‘ini enak sekali?’, apakah kemungkinan itu masih ada? Mengejek satu sama lain dan melemparkan cacian – cacian kejam yang tak melukai satu sama lain, kapan lagi sebyul bisa menemukan teman senyaman itu?

Oh jadi begini rasanya punya teman. Baru terasa berarti ketika ia mau pergi.

“Jongin itu lebih licik dari yang kau kira, Sebyul.”

Apakah Luhan memang tidak main – main dengan kata – kata itu? Mungkinkah licik dalam kamus Kim Jongin sama dengan ‘menggoda gadis barista’ ‘bercinta dengannya’ ‘memanfaatkan dirinya untuk kesepian Jongin’ ‘lalu pergi setelahnya’.

“stop berpikir Jo sebyul… ayo otak, berhentilah berpikir…”

Sebyul rasa kepalanya mau pecah. Ia memejamkan matanya, mengambil nafas dalam – dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Kenapa ia rumit sekali hanya karena Jongin-mau-menikah?

Kenapa?

Bukankah perasaan cinta itu hanya ilusi?

 

“Noona? Apa yang sedang kau lakukan?”

Sebyul tersadar dari lamunannya ketika ia mendengar suara Junhong. Ia membuka matanya kemudian berusaha untuk tersenyum. Junhong duduk disofa dengan Pop corn di genggamannya. “h-hai.. Aku baru saja pulang.”

Junhong mengerutkan alis, “Gwenchana?”

Sebyul mengangguk. Ia tidak mau membuat Junhong khawatir dengan urusan tidak pentingnya, dan.. siapa itu? Seorang gadis yang duduk disebelah Junhong memegang cokelat dengan kedua mata terfokus pada tayangan televisi?

Sebyul berjalan mendekati Junhong sambil memperhatikan baik – baik gadis itu.

“Oh, dia Lee Hojung.” Junhong menangkap tatapan bertanya Sebyul.

Gadis bernama Hojung itu berbalik secara spontan lalu tersentak melihat Sebyul. “Ah, Annyeonghaseyo unnie!” ia melambaikan tangannya pada Sebyul yang berdiri bingung. Sejak kapan Junhong suka membawa teman wanita?

“Noona…eum…” Junhong mengusap lehernya gugup sambil melirik kearah Hojung. Ia tersenyum canggung. “Hojung ini pacarku.”

“Pacar?”

Junhong yang Sebyul ketahui tidak pernah berkencan dengan siapapun, dan rasanya melihat Junhong mengenalkan pacar barunya… terasa normal. Ia begitu hidup sebagai seorang remaja yang sesungguhnya. Wow, kenapa hidup mulus sekali untuknya. Sekolah lalu jatuh cinta. Klise.

Tapi apakah benar kalau cinta itu memang ilusi?

 

***

 

 

The following morning

8 AM.

 

Kim’s company main’s building

 

 

Setelah memarkirkan Nissan Silvia di basement, Jongin berjalan beriringan dengan Sebyul yang mengenakan setelan pakaian kantor berwarna hitam yang tampak memukau pada tubuh ramping gadis itu. Sebyul sudah bersikeras untuk berangkat sendiri saja naik bus atau taksi atau kendaraan lain tetapi Jongin menjemputnya tanpa persetujuan Sebyul.

“Kenapa kau pakai kaus putih polos begitu?!” protes Sebyul begitu mereka memasuki pelataran gedung utama Kim Company dengan lantai pualam dan pilar – pilar tinggi yang berjejer mengiringi jalan menuju pintu utama gedung. Sebyul sampai tak mampu berkata – kata lagi saking terkesimanya. Apakah benar pria disebelahnya ini Jongin si kurang ajar yang meminta gelas Iron Man?

“Aku bawa ini.” Jongin menunjukkan jas dan dasinya yang tersampir di lengannya. Sebyul hanya menggelengkan kepala pelan kemudian berdecak.

Pintu kaca bergeser terbuka lalu keduanya berjalan masuk didalam gedung utama. Kemegahan menyambut setiap langkah keduanya, begitu elegan. Begitu majestic. Beberapa orang menyambut mereka dengan senyuman dan bungkukan hormat—sebenarnya, menyambut Jongin. Lalu keduanya memasuki lift dalam diam.

Sebyul menggigiti bibir bawahnya gugup dengan jari – jari bertaut satu sama lain. agak canggung baginya melihat Jongin tidak seperti biasanya. Jongin ketika memasuki apartemennya dan memasuki kantor, seratus delapan puluh derajat berbeda. Dagu yang ditinggikan dan tatapan dingin yang tidak biasanya Jongin tunjukan.

Jongin berdeham, membuat Sebyul menoleh kearahnya. Dan secara tiba – tiba Jongin menarik ujung kaus putih polosnya dan melepas dengan satu gerakan gesit. Meninggalkan tubuhnya yang topless. Sebyul berteriak, “YA! APA YANG KAU LAKUKAN?!”

Jongin terkekeh. Ia mengenakan kemeja nya dengan santai, lalu diikuti dengan jas nya. Mengaitkan semua kancing lalu memasang dasinya. Ia merapikan ujung jasnya kemudian menyeringai. “Tolol. Jangan berpikir negatif dulu, Jo Sebyul.”

“If you did that to impress me with your toned abs, sorry.. but that wasn’t impressive.”

“So can I try again later, on the bed?”

Sebyul hampir saja memukul kepala Jongin dengan tas slempangnya.

Kemudian pintu lift terbuka, keduanya melangkah keluar dengan Jongin yang memberikan kaus nya pada salah satu pelayan yang berdiri disamping lift tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Sebyul berpikir, siapa Jongin ini diperlakukan begitu istimewa? Titisan Dewa Zeus?

“Tunjukan wanita ini ruang penerjemah.” Sang pelayang mengangguk dengan mata tak lepas memandangi Sebyul. “Sampai jumpa saat jam makan siang nanti.” Jongin mengusap rambut Sebyul sesaat kemudian berlalu. Meninggalkan Sebyul dan seorang pelayan wanita yang berdiri berjejeran.

Sebyul berdiri dengan gelisah; tatapan wanita disebelahnya ini kenapa begitu heran?

“Nona?”

“Ya?”

“Apakah kau karyawan baru?”

Sebyul mengangguk.

“Kenapa kau bisa bersama Presiden Jongin? Dan.. menaiki lift khusus?”

Sebyul mengerutkan dahinya bingung, ia menggigit bibir bawahnya. “si kurang aj—maksudku, Presiden Jongin tidak pernah mengantar karyawannya? Dan..” ia mengusap bagian belakang lehernya gugup. “Aku tidak tau kalau itu lift khusus.”

Sang wanita memandang Sebyul dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menilai siapa gerangan Sebyul sampai mendapat kesempatan beruntung seperti tadi.

“Tidak pernah. Dan karyawan biasa tidak boleh menaiki lift khusus.”

 

 

 

TBC

 

 

Selamat datang di isi otaknya jongin dan sebyul!

Konflik baru aja dimulai, my readers. Setelah ini drama mulai muncul lebih kompleks dan bakal ada beberapa pihak yang bikin Jongin sama Sebyul semakin rumit masalahnya (ayolah Clara ngga sebego itu pergi ke Amrik tanpa ‘persiapan’ apa – apa), juga Mizuhara Kiko jadi cast baru as Jongin’s sister! (Karena dia mirip sama jongin!!) miraki juga bakal muncul lagi di vampire rascal.

Dan selamat untuk ‘araonee’ karena cast nya terpilih disini jadi pacarnya baby Zelo.

Untuk readers semua, mohon maaf lahir dan batin ya! Selamat lebaran semuanya!

Buat readers yang nanya ‘kapan marriage life nya nih?’

Mungkin sekitar chapter 9/10 ya.

Genre angst/dark nya bakal kerasa di chapter 10-an. Iya ff ini emang panjang. Kan aku udah bilang ini kayak sinetron. Dan aku baru tau dari sms/line/twitter yang masuk dari para readers, banyak juga yang umurnya under 18. Jadi niatnya aku turunin rating fanfic ini biar ga terlalu vulgar ya buat chapter2 depan (dan aku juga ada niat untuk bikin Rated chapters dalam bentuk English di AFF buat meminimalisir kata2 kurang senonoh or mature scene) tapi ya.. masih planning sih. Read it on your own risk ya, tapi saya selaku penulis masih bertanggung jawab atas moral kalian buat remaja2 yang baca Desirable.

 

Yang terakhir, menurut kalian.. gimana perasaan Jongin dan Sebyul yang sebenarnya sih? Write your review!